Senin, 17 Juni 2013

Bukan AKu yang Salah Mah, Pah!

Keluarga mana yang menginginkan seorang generasi penerusnya adalah seorang yang cacat baik fisik, apalagi mental. Semua orangtua dan keluarga lainnya pasti menginginkan anak/cucu/keponakkan yang memiliki kesehatan lahir dan bathin, “normal” seperti yang lain.
Namun, apabila seorang anak/cucu/keponakkan terlahir dengan cacat apa mereka semua dapat dengan lapang menerima? Atau seorang anak yang lahir memiliki kekurangan yang membuatnya tidak ‘normal’ seperti anak kebanyakkan apa mereka masih bisa menganggapnya ada? Lalu kalau seorang anak yang lahir dengan adanya penyimpangan yang berbeda dengan yang lainnya apakah mereka akan tetap merasa bersyukur dengan kehadiran anggota keluarga baru?

Entah sejak kapan Naomi menyadari ada yang salah pada dirinya. Dia merasa aneh dan tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya. Dia mencoba mengadu hingga kesana – kemari juga tak kunjung mendapatkan jawaban pasti mengenai dirinya sendiri. Di usianya yang hampir menginjak duapuluh tahun, dimana pada masa ini ia seharusnya tengah selesai dalam pencarian jati diri.
Langkahnya belum selesai. Dia merasa masih harus mencari dan harus mendapatkan jawaban dari apa yang selama ini dia pertanyakan sebelum tidurnya dan saat ia terbangun. Pikirannya terus bergejolak melawan hawa nafsu yang ia sendiri tidak pahami sampai kapan ini akan berlanjut.
Naomi bercermin dalam kamarnya yang hanya diterangi lampu tidur. Terpampang jelas bayangannya di cermin. Rambut bondol, raut wajah menawan, kemeja kotak – kotak yang longgar, celana jeans pendek. Dia terbengong melihat bayangan wajahnya sendiri. Dia merasa aneh pada dirinya sendiri saat itu.
Tak lama terlarut dalam lamunannya sendiri, Naomi melepas kemeja kotak – kotak dan celana pendek yang melekat pada tubuhnya. Bayangan kini berganti dengan sosok tubuh yang dililit dengan korset yang amat ketat menekan buah dada dan perut. Celana dalam laki – laki yang tidak seharusnya ia pakai karena dia seorang perempuan.
Naomi perlahan melepaskan korset yang ia kenakan. Tinggalah tubuh indah perempuan dengan payudara. Dia melihat dengan seksama payudara miliknya sendiri. Lalu melihat kearah bawah bagian perutnya yang masih dibungkus celana dalam.
Kenapa ini harus ada pada tubuh gue?! batinnya berkecamuk saat melihat payudaranya. Kenapa gue gak punya titit kaya yang lain?! Dia memegang bagian vaginanya dengan sedikit remasan kemarahan.
Kenapa gue harus jadi perempuan? Kenapa gue gak jadi cowok aja? Kenapa?! Kenapa? Tangisnya pecah saat itu. Butiran air mata menyibak membasahi pipi gadis manis yang seakan marah pada dirinya sendiri.
Sudah lama Naomi menyadari ada yang tidak beres dalam dirinya. Dia lebih menyukai berpenampilan seperti laki – laki. Gesture dan bahasa tubuhnya pun lebih mirip laki – laki daripada perempuan. Kegemaran akan sepak bola, basket, dan olahraga lainnya yang umumnya disukai laki – laki dia lebih suka ketimbang harus bermain bekel atau boneka bersama teman – teman perempuannya. Dia hanya menggunakan rok saat dia sekolah. Sejak payudaranya tumbuh, dia tidak mau memakai beha sebagai penyanggah, dia lebih memilih memilin payudaranya dengan korset yang kemudian dilapis dengan kutang atau miniset.
Dan begitu pun dengan orientasi seksualnya. Dia sama sekali tidak memiliki ketertarikkan dengan laki – laki. Dia akan sangat bergairah apabila melihat bagian intim perempuan lainnya. Apabila mencium bau keringat perempuan ia akan dengan mudah terangsang dan nafsu menguasainya.
Namun, walaupun begitu, Naomi belum pernah melakukan hubungan badan dengan sesama perempuan manapun. Dia begitu takut dan tidak berani kalau harus melakukan hubungan intim dengan sesama perempuan.

Setelah menangis di depan cermin, Naomi bangkit dari duduknya yang meringkuk. Dia langsung menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Perlahan dia berjalan menuju lemari dan mengambil pakaian untuk menutupi tubuh bugilnya itu.
Mungkin ini sudah saatnya. Mungkin sekarang gue adalah waktunya gue untuk jujur dan mengatakan yang sebenarnya. Mungkin dengan begitu gue akan mendapatkan solusi, paling enggak sedikit melegakan perasaan gue.
Perlahan dengan wajah yang sendu dia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju lantai bawah. Langkahnya berat. Perasaannya kacau balau, antara ragu dan yakin dengan keputusan yang ia buat sendiri. Dia melihat Ayahnya, Jeremy, dan ibunya, Anne tengah asyik duduk di sofa dan menonton televisi di ruang keluarga.
Perlahan tapi pasti Naomi menghampiri keduanya. Lalu dia duduk di sofa kecil disebelah sofa tempat orang tuanya duduk bersama.
“Pah, Mah, Naomi mau bicara,” Naomi berkata pelan dengan wajah menghadap kebawah. Dari suaranya sangat terdengar kalau gadis muda tengah kalut.
Jeremy tersenyum melihat anaknya yang kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa, “Ada apa Mi? Serius amat kayaknya.”
Anneke dengan enteng dan bercanda menanggapi anaknya itu, “Palingan juga mau minta uang lagi. Iya kan Mi, gitu aja kamu pake serius amat deh.”
Mengetahui orang tuanya yang baik – baik saja itu, Naomi mengambil remote tv dan mematikan tv itu.
“Lho koq TV-nya dimatiin sayang? Ada apa sih MI?” tanya Anneke kebingungan melihat tingkah laku anaknya yang tidak biasa.
“Mah, Pah, sebenernya ada yang mau aku bicarakan. . .” Naomi mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan kata – katanya, “tapi aku mohon Mama sama Papah jangan marah sama Naomi ya.”
Jeremi dan Anneke semakin kebingungan saat ini, “Lah, emangnya kamu ngapain sampai kamu bilang Papah sama Mamah gak boleh marah?” tanya Jeremy kepada anaknya yang menatapnya dengan tatapan lirih namun tajam.
Naomi berusaha menenangkan dirinya, dia kembali mengambil nafas panjang. Perlahan – lahan dan terbata – bata Naomi memulai kata – katanya, “Pah, Mah, sebenernya aku gak normal. . . Aku...”
Anneke memotong perkataan anaknya, “Apa maksud kamu gak normal?” tatapan tajam dan lirih pun tergambar pada wajah Anneke.
Jeremy hanya bisa memalingkan pandangannya ke arah langit – langit rumah dan berputar tak menentu. Bibirnya bergetar tidak mampu berbicara lagi.
“Mah, Pah, ini bukan salah aku. Aku gak tahu harus gimana lagi,” perlahan air mata Naomi jatuh, “Naomi harus ngaku sama Mama dan Papa.” Sesaat dia terdiam, tatapannya tidak menentu ingin melihat kearah mana. Lalu dia menunduk, “Mah, Pah, Naomi. . .” kata- katanya kembali terhenti karna isakan tangisnya, “Naomi Lesbian”

Jeremy dan Anneke amat sangat terkejut dengan pernyataan anaknya barusan. Hati orang tua mana yang tidak shock mendengar sebuah pengakuan dari anak yang selama ini mereka besarkan dan mereka kasihi dengna sepenuh hati. Bagaikan tersambar petir di siang bolong sepertinya tepat menggambarkan hati Jeremy dan Anneke saat itu.
Naomi sudah siap dengan apapun resiko yang akan diterimanya. Dia sudah siap apabila orangtuanya menyuruhnya pergi dari rumah. Dia sudah siap apabila orangtua yang selama ini membesarkannya tidak mau lagi menganggapnya sebagai anak.
Naomi langsung menghampiri orang tuanya dan sungkem di pangkuan kedua orangtuanya sambil menangis histeris. “Maafin Naomi, maafin Naomi Mah, Pah. Naomi gak bisa normal seperti anak perempuan lainnya. Naomi cacat Mah, Pah. Naomi enggak normal.” Kata – kata itu meluncur dari mulut Naomi begitu saja.
Dengan perlahan Jeremy dan Anneke menyentuh dan mengusap kepala anak yang sedang menangis di pangkuan mereka. Air mata juga tidak mampu ditahan oleh mereka.
“Naomi, sebenarnya,” Anneke perlahan berkata sambil terisak – isak, “Mama sama Papa sudah tahu kalau ada yang janggal dengan kamu.”
Naomi perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Anneke lirih, “Maksud Mama?”
Jeremy menatap Istri dan Anaknya, “Kamu ingat ketika dulu waktu kamu kecil Mama dan Papa pernah mengajak kamu ke dokter. Trus, kamu ditanya banyak pertanyaan sama dokter itu?”
Naomi mengangguk pelan.
“Waktu itu Papa dan Mama ngajak kamu ke psikolog,” Anneke lanjut menjelaskan, “Mama dan Papa merasa ada yang janggal sama kamu saat itu. Kamu lebih suka apapun yang lebih disukai laki – laki. Kamu sama sekali enggak suka apapun yang sewajarnya disukai sama anak perempuan seumur kamu.”
Wajah kedua orangtua Naomi tersenyum lirih, sangat tergambar senyum penuh kekecewaan dan kesedihan. Naomi kembali menangis dalam pangkuan kedua orangtuanya sambil tidak berhenti mengarakan, “Maafin Naomi Pah, Mah,” isak tangis dan air mata terus mengirinya kala itu.
“Apapun yang terjadi sama Naomi, Naomi tetap anak Papa dan Mama.” Jeremy berusaha menghibur Naomi saat itu, “Papa dan Mama akan tetap sayang sama Naomi. Gimana pun kondisi kamu, kamu tetap anak Papa, gaka ada yang bisa mengubah itu. Sekali pun kamu tidak normal.”
Tangis Naomi makin meledak mendengar perkataan Papa yang disayanginya.
“Mama gak akan berubah. Mama akan tetap menyangi kamu,” Anneke mengucap kata – katanya lirih. Dia mengangkat wajah anaknya dan menghapus air mata Naomi.
Mereka bertiga berpelukkan saat itu. Suasana mengharu biru di rumah yang tidak terlalu besar. Naomi memeluk kencang kedua orangtuanya. Tangisan dan air matanya kembali meledak manakala mengetahui tanggapan orangtuanya. Antara senang, sedih, dan tidak menyangka akan tanggapan yang orangtuanya berikan.
“Mah, Pah, Naomi janji suatu saat Naomi akan berubah dan menjadi perempuan normal kaya perempuan – perempuan lainnya.” kata – kata itu meluncur tulus dari mulut Naomi kepada kedua orangtuanya yang saat itu ada dipelukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar