Minggu, 09 Juni 2013

Suami - Istri atau Ayah - Ibu

Menikah, tentu bukan masalah mau atau tidak mau saja. Tapi menikah juga harus dibarengi dengan mampu atau tidak mampu. Tentu banyak diluar sana yang ingin membina rumah tangga dalam lembaga pernikahan. Apalagi untuk para perempuan yang sudah diatas usia duapuluh tahun dan pria diatas usia duapuluh lima tahun. Namun sudah kah siap mereka yang ingin menikah dengan berbagai resiko setelah pernikahan antara laki – laki dan perempuan terjadi?
Menikah bukan hanya perkara hanya menyatukan dua sejoli. Menikah juga menyatukan antara dua keluarga, bahkan dua kebudayaan dan nilai – nilai tertentu yang berlaku pada keluarga masing – masing. Dan tentunya setelah menikah kedua orang itu bukan hanya akan menjadi suami dan istri, namun juga akan menjadi Ibu dan Ayah.
Dari banyak kasus yang gue survey secara tidak formal ini gue menemukan berbagai fakta yang ternyata terjadi dalam sebuah lembaga rumah tangga. Pasangan – pasangan tersebut dari awal lebih siap menjadi suami dan istri. Mereka rata – rata belum siap menjadi seorang Ibu dan Ayah untuk anak – anak mereka.
Menjadi seorang Ibu dan Ayah bukan saja hanya perkara membuahi sel telur dengan sperma. Bukan hanya persiapan segala kebutuhan materi untuk si anak kelak. Bukan hanya mengalami proses kehamilan selama sembilan bulan sepuluh hari. Dan bukan juga hanya berlandaskan keinginan dari sepasang suami – istri untuk menimang anak.
Selalu dan pasti pasangan suami – istri mana yang tidak senang kalau mengetahui Istri, anak, menantu, adik/kakak dalam keadaan positive hamil. Perut istri akan membesar dan terus membesar seiring perkembangan sang janin. Segala persiapan menyambut sang anak lahir pun dilakukan; belanja kebutuhan si kecil; mengadakan empat bulanan atau tujuh bulanan; mungkin dengan baby shower; dan lain sebagainya kegiatan dilakukan guna menyambut kehadiran bayi mungil tersebut.
Setelah bayi itu lahir di dunia dengan selamat tanpa kekurangan satu apapun dan tidak cacat, semua orang senang dalam keluarga itu, terlebih Suami dan Istri. Mereka akan menajdi Ayah dan Ibu, Kakek dan Nenek, Om dan Tante.
Siapa yang tidak mendambakan adanya suara tangisan bayi mungil dalam keluarga suami dan istri itu? Semua senang dengan kehadirannya.
Setelah melahirkan biasanya seorang Ibu Baru akan mengalami masa baby blues selama beberapa hari. Bentuk yang dirasakan ibu baru kalau sedang mengalami baby blues beraneka ragam. Ada yang tidak berani menyentuh anaknya sendiri. Ada juga yang membenci kelahiran anaknya karena semua perhatian tercurah bukan lagi padanya namun kepada anaknya, apalagi perhatian dari suami. Bentuk lain dari baby blues salah satunya adalah sang Ibu merasa paranoid mengenai bisa tidaknya dia mengurus anak dengan baik. Dan masih banyak lagi bentuk – bentuk baby blues.
Menurut gue ketika seorang perempuan mengalami baby blues adalah suatu proses alami, namun juga dapat menggambarkan pribadi lain dari perempuan tersebut. Bukan hanya pribadi saja, namun juga watak.
Setelah baby blues berlalu perempuan kembali mencintai anaknya kembali. Dia merasa senang dan menyanyangi anaknya. Karena kehadiran seorang anak dapat menandakan bahwa pasangan suami – istri tersebut pasangan yang “subur”. Ada juga yang mengatakan dengan kehadiran seorang anak adalah simbol “lengkaplah sudah mereka menjadi keluarga”.
Tentu tidak semua pasangan suami – istri mengurus dan mengikuti perkembangan anaknya sejak usia bayi hingga balita. Mereka ada yang tetap sibuk dengan kariernya, sibuk dengan arisan dan lingkungan sosialnya, hingga anaknya dititipkan kepada pengasuh atau kepada orang tua yang tidak memiliki kesibukan seperti mereka.
Kebanyakkan dari orang tua juga lebih fokus untuk mengikuti perkembangan fisik dan motorik anak dan mengabaikan perkembangan psikologi dan demografi dari anaknya. Mereka mengabaikan kemungkinan – kemungkinan adanya perubahan sikap, cara berpikir, dan bagaimana karakter yang akan anaknya miliki.
Mungkin pada usia dibawah duabelas tahun orang tua dapat berperilaku semaunya kepada anaknya. Anaknya harus mengikuti apa kata orang tuanya dan mengabaikan hal – hal kecil bagaimana mereka atau orang yang mereka titipkan anaknya mendidik anaknya. Seperti yang kita tahu pembentukan karakter anak dimulai sejak dini (jadi jangan Cuma menyalahkan anaknya kalau perilaku mereka menyimpang atau tidak sesuai di kemudian hari).
Kalau pada usia dibawah duabelas tahun jika anak melakukan kesalahan Ayah dan Ibu bisa marah dengan membentak atau melakukan kontak fisik tertentu. Efeknya simpel, anak akan menangis meminta ampun kepada Ayah dan Ibunya, dan berjanji tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Pada usia itu anak takut kepada orang tua. Anak tidak berani. Dan anak tidak dapat melakukan apa – apa. Begitu pun pada mindset orang tua.
Biasanya setiap pasangan akan siap dengan perilaku dan bagaimana cara menghadapi anak pada usia dibawah duabelas tahun. Namun, bagaimana dengan usia tigabelas tahun keatas?
Biasanya kesuksesan dalam lembaga rumah tangga hanya diukur dari keberhasilan mereka menjadi suami – istri yang lenggang, jarang bertengkar, dan dapat menyelesaikan segala masalah yang mendera rumah tangganya. Namun apa hanya itu saja?
Balik lagi kepada si anak, anak pada usia tigabelas hingga duapuluh satu tahun akan mengalami masa pubertas (dari buku perkembangan psikologi manusia, lupa judul, lupa pengarang. Namanya juga survey tidak formal). Pada masa pubertas seorang anak akan mengalami masa pencarian identitas kepribadian mereka. Adanya suatu gejolak untuk menunjukkan eksistensi dalam lingkungan mereka tinggal atau bersosialisasi akan timbul.
Eksistensi tersebut maksudnya adalah pemberontakan terhadap orang tua. Mereka biasanya akan mengalami konflik dengan Ayah dan Ibunya. Mereka mau dianggap sebagai pribadi yang sudah dewasa, namun dalam suatu kondisi mereka juga masih mau dianggap sebagai anak kecil.
Biasanya banyak Suami dan Istri yang tidak siap mengalami masa dimana peran mereka sebagai Ayah dan Ibu harus dapat menjadi seorang yang Anak “percaya” dan “dekat” pada masa pubertas. Ayah – Ibu kebanyakkan masih mempertahankan dramaturgi yang mereka lakukan saat si Anak masih pada usia anak – anak. Mereka tidak menyadari kalau mereka harus mengubah pola dramaturgi mereka saat si Anak sudah masuk pada pubertas.
Karena pertentangan anak dengan Ayah – Ibu lahirlah sebuah konflik yang berkepanjangan. Makanya tidak heran pada usia puber kalau anak dan Ayah – Ibunya akan sering bertengkar.
Apabila orang tuanya sibuk mencari uang, Anak akan merasa tidak diperhatikan dan kurang kasih sayang. Dan ada lagi perasaan dan pikiran kalau Ayah – Ibu tidak pengertian kepadanya. Bagi mereka yang sering dititipkan kepada suster atau pengasuh lainnya, mereka juga dapat berpikir kalau mereka tidak merasa dididik dan dibesarkan seutuhnya pleh orang tuanya. Semua gejolak konflik antara Anak dan Orang Tua akan banyak lahir pada masa – masa puber.
Banyak orang tua yang menyatakan menyerah mendidik dan mengurus anaknya pada masa pubertas si Anak berlangsung. Mereka cenderung menyalahkan anak –anaknya tanpa menghiraukan apa salah mereka. Dan mereka tidak juga mengetahui kalau anaknya dalam masa perkembangan psikologis yang alami dan memang konflik – konflik tersebut ada dalam setiap keluarga. Mereka tidak menyadari bahwa orang tua diharuskan memilki peran – peran tertentu untuk menghadapi si Anak.
Nah, apakah kamu sudah siap menghadapi peran kamu sebagai Ayah – Ibu? Dan bukan hanya menjadi Suami – Istri? Memiliki anak bukan hanya menimbulkan kebahagiaan baru, namun juga akan menjadi sebuah problema baru dalam tahap hidup selanjutnya.

1 komentar:

  1. Betul. Siap atau tidak siap kita harus siap. Karena kita pasti akan menjadinseorang Bapak atau Ibu untuk anak-anak kita kelak. Bagaimana pun kita harus sudah memiliki pemikiran apa dan bagaimana kita menjadi benar-benar dewasa untuk keluarga kita, salam kenal yah!

    BalasHapus