Senin, 17 Juni 2013

Gue PR BUKAN PIAR

Hari Rabu yang cerah, dimana matahari sudah bersinar hangat menyinari Kota Jakarta yang sudah hiruk pikuk dengan berbagai kegiatan dan aktivitas setiap warganya yang selalu mencoba dan berusaha untuk menaikkan derajat status sosialnya. Persaingan selalu terjadi di kota yang tidak lagi Metropolitan, tapi sudah Megapolitan.

Pagi itu Samantha tengah sibuk mendandani penampilannya. Dari mulai membuat keriting sosis di bagian bawah rambutnya, foundation dan bedak untuk mencerahkan wajahnya. menggunakan eye liner yang membuat matanya terlihat lebih besar dan tajam, eye shadow tidak lupa dia bubuhkan demi menambah kecantikan wajahnya, tentu tidak ketinggalan lipgloss dan lipstick yang semakin membuat bibir perempuan itu merona.
Samantha memilih baju terbaik yang menurutnya akan menambah penampilan elegannya. Atasan putih dengan kerah shabrina yang menutupi pundak, dilengkapi dengan rok berwarna hitam yang panjangnya sedikit diatas lutut yang memamerkan bentuk kaki indah, panjang, dan jenjang. Penampilan elegannya semakin bertambah dengan pilihan sepatu wedges hitam yang membentuk kakinya semakin cantik. Aksoris kalung, cincin, dan gelang perak tidak ketinggalan ia gunakan. Dan sekarang dia siap untuk melakukan interview pekerjaan.

Samantha begitu semangat untuk melakukan test wawancara, apalagi ini adalah panggilan pertama untuknya setelah tiga bulan resmi menjadi Sarjana Ilmu Komunikasi dari salah satu universitas swasta di Jakarta. Secercah doa dia panjatkan pada Tuhan agar wawancara hari ini berjalan lancar dan dia dapat diterima di perusahaan yang menjadi tujuannya.
Wajah cantik perempuan Indonesia yang dimiliki Samantha semakin terlihat menarik kala dia tersenyum semangat keluar dari kamar kost-nya. Gadis yang biasa disapa Sam itu memang tinggal sendiri di Jakarta. Dia adalah seorang perantauan dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

”Pagi Mbak Sam. Mau kemana pagi – pagi gini udah cantik aja?” sapa Mbak Ivon pembantu di rumah kostan tempat Sam tinggal.
“Eeh Mbak Ivon,” senyum ramah Sam menyapa Mbak Ivon, “Iya nih, mau interview kerjaan. Doain ya mbak biar lancar.”
”Insya Allah lancar ya Mbak.”
”Amin Mbak, aku duluan ya.”
Dia kemudian mengambil kunci mobilnya dan bergegas membuka mobilnya yang terparkir di halaman depan bersama mobil – mobil penghuni kost lainnya.

***

Akhirnya Samantha sampai juga di perkantoran elite di wilayah Jakarta Pusat. Sesaat sebelum turun dari mobil dia kembali mengambil cermin dan melihat kembali wajahnya. Setelah dirasa cukup dia kemudian turun dari mobil dan kembali merapihkan pakaiannya. Lalu dia berjalan menuju kantor dengan penuh percaya diri.
Senyum hangat dan ramah diumbarnya kepada semua orang yang berpapasan dengannya. Kaum laki – laki tentu sangat menikmati pemandangan itu, bagaimana tidak seorang gadis cantik dengan paras Indonesia khas memberikan senyum yang begitu mempesona.

Tidak lama kemudian dia sampai dan menjelaskan kepada bagian front office maksud dan tujuannya. Kemudian dia duduk di sofa untuk menunggu panggilan untuk test wawancara. Tidak terlalu lama menunggu Samantha akhirnya dipanggil, dan dia berjalan menuju ruangan tempat berlangsungnya test tersebut.
“Silakan duduk,” seorang laki – laki kisaran usia tigapuluh tahun mempersilakan Samantha duduk dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Saya Emir.”
Samantha mengulurkan tangannya dan bersalaman dengan Emir, “Saya Samantha.” Setelah itu dia duduk dengan anggun dan tetap tersenyum.

Emir membaca CV dari Samantha dan sesekali melihat kearah Samantha dengan tatapan ramah menggoda, “Oke, kamu lulusan PR ya. Dari yang saya baca di CV kamu sepertinya kamu cocok untuk berkerja disini.”
“Iya Pak. Terimakasih.” Senyum Samantha tidak berhenti diumbarnya.
“Gini, PR yang kita butuhkan di perusahaan ini akan tugasnya Simple,” Emir menjalaskan sambil memegang dahunya dan menatap tajam lawan bicaranya, “tapi apa kamu yakin bisa menjadi PR yang handal untuk salah satu anak perusahaan kami?”
Tidak ada keraguan dalam diri Sam untuk bertanya pada Emir, “Saya akan mencoba Pak. Memang apa tugas dari PR yang Bapak maksud?”
“Jadi gini, kamu akan ditempatkan di Desire Club. Club itu adalah salah satu anak perusahaan ini,” Emir menjelaskan dengan seksama. “Disitu tugas kamu simpel, beramah tamah pada semua tamu yang datang ke Desire Club, terutama member club. Disana kamu harus menawarkan untuk tamu – tamu untuk open bottle minuman – minuman yang kami jual. Setiap botol – botol yang dibeli tamu kamu akan mendapat komisi tambahan. Kalau memang tamunya tidak mau, kamu bisa merayu supaya mereka membuka botol. Bermanja – manja sedikit juga gak apa – apa.”

Samantha Shock mendengar penjelasan dari Pak Emir. Dia tidak menyangka Public Relations yang dimaksud Pak Emir seperti itu. Senyum hangatnya berganti mimik serius, tidak ada senyuman. Tatapan mata hangatnya berganti menjadi tatapan dingin.
“Maaf Pak. Sepertinya saya tidak cocok berkerja di perusahaan ini. Terimakasih.” Samantha bangun dari duduknya dan berlalu dari Emir dengan langkah kaki cepat keluar dari kantor itu.

***

Sambil menyetir mobil dia mengambil smartphone-nya dan menelfon salah satu temannya. Samantha berniat untuk ke rumah temannya itu. Jengkel, kesal, dan butuh teman untuk menceritakan unek – uneknya itu pada orang lain yang dia percaya.

Macetnya Jakarta pada hari itu menambah kekesalan gadis berusia duapuluh dua tahun itu. Masih terngiyang – ngiyang penjelasan Pak Emir yang menurutnya menyimpang dan bodoh. Gila aja tuh orang, bego banget sih! Bathin Sam mengamuk.

Setelah satu jam berjuang melawan macetnya Ibukota, akhirnya Samantha sampai juga di rumah kawannya. Sehabis parkir dia langsung masuk ke rumah temannya itu. Teman Sam yang memang sudah ada di halaman depan rumah menyambut kedatangannya. Mereka lalu cipika – cipiki dan masuk ke dalam rumah.

“Ada apa sih Sam sama lo? Koq tadi di telfon lo sewot amat deh?” tanya Olivia sesaat setelah dia dan Samantha duduk di meja makan sambil mengambil minuman untuk Sam.
Sebelum menjawab Samantha menjawab pertanyaan Olivia, dia minum minuman yang diambilkan sahabatnya, “Elo harus tau ya Liv, gue kan tadi interview kerjaan. Bete banget asli, kesel gue!”
“Wew, udah interview aja lo. Bukannya bersyukur lo udah dipanggil, gue aja nungguin panggilan sampe belumur gini.”
“Eeh gimana gue mau bersyukur Liv. Secara aneh banget deh. Kan itu buat PR ya, gue pikir PR disitu sama kaya PR – PR corporate kaya biasanya kan.” Samantha menjelaskan dengan menggebu –gebu dan sesekali menyibakkan rambut panjangnya, “Eeh, taunya gue mau ditempatin di anak perusahaannya yang Club gitu. Gue lah disuruh sok – sok’an ramah tamah ala – ala ke tamu – tamu. Trus jual – jualin minuman – minuman gitu.”
“Hahahahaha,” Olivia tertawa mendengar penjelasan dari sahabatnya yang lagi kesal, “Trus? Trus?”
“Gue bilang aja gini, sepertinya saya gak cocok kerja disini.” Samantha menirukan bagaimana dia menjawab Emir saat sesi wawancara tadi. “Gila aja lagian, ngapain gue capek – capek jadi sarjana kuliah PR kalo emang kerjaan gue Cuma jual – jualin botol trus ngerayu – rayu om – om supaya buka botol! Sorry deh gue mau jadi PR beneran yang oke, bukan PR yang Cuma bisanya leyeh – leyeh trus ngerayu – rayu.”
“Good, good. Lagian emang kalo di Indonesia sih aneh yah. Club – club disini nganggep PR itu cuman untuk jual – jualin botol. Trus, juga ada malah yang nawarin dirinya ke customer untuk playing sex. Amit deh gue!” Olivia menimpali kata – kata Samantha, “trus rencana lo gimana?”
“Jangan sedih, gue juga lagi nungguin panggilan kerjaan lagi nih. Semoga aja PR Firm yang gue kirimin CV bakal manggil gue deh.”

***

Sudah dua minggu Samantha tidak menerima panggilan pekerjaan setelah dia menolak pekerjaan sebelumnya. Tidak ada penyesalan dalam dirinya untuk mengambil keputusan itu. Dia amat sangat menentang segala apa yang tidak sesuai dengan prinsip yang dia anut. Apalagi selama menjadi mahasiswa dulu dia adalah orang yang sangat kritis dan mencari banyak pengetahuan mengenai profesi Public Relations yang sesuai dengan definisi dan praktik kerja profesional.
Buku – buku mengenai Public Relations seperti Affective Public Relations karya M. Cutlip dan buku – buku Strategi Public Relations karya praktisi dan ahli komunikasi tidak luput dia baca guna menambah pengetahuannya akan dunia Public Relation.
Tidak ketinggalan dia selalu mengikuti seminar – seminar baik di dalam kampusnya ataupun seminar di luar kampus untuk menambah ilmu dan wawasannya. Dengan demikian tidak heran kalau penjelasan dari Emir mengenia konteks kerja mengenai PR yang ditugaskan padanya tidak sesuai dengan apa yang dia anut. Menurutnya itu menyimpang. Itu bukan pekerjaan PR sebenarnya. Dipikirannya itu sama saja dengan sales. Percuma aja dia kuliah selama empat tahun dan mendalami ilmu Public Relation bila bekerja tidak sesuai prinsipnya.
Dia mau menjadi PR sesuai dengan apa yang dia dapatkan dari berbagai buku dan seminar – seminar yang dia ikuti. Dia mau menjadi media relations, client relations, public affair, government relations, strategic planer, atau corporate communications, atau dia juga ingin menjadi Konsultan PR yang handal.
Oleh karena itu selain mengirimkan lamaran pekerjaan ke perusahaan yang sebelumnya dia juga mengirimkan ke beberapa perusahaan Agensi PR di Jakarta. Sayangnya dari perusahaan – perusahaan PR firm itu belum memanggilnya. Tapi dia tidak putus asa, Samantha tetap menunggu dan berdoa agar dia dipanggil dan dapat bekerja di salah satu agensi PR konsultan yang dia tuju.

Dan pada akhirnya dia mendapatkan telefon dari salah satu perusahaan PR agensi untuk interview kerja. Tentu Samantha sangat senang dan gembira saat dia mendapatkan kabar. Tidak percuma dia menunggu dan sabar selama ini.

***

Singkat cerita setelah melewati beberapa test seperti wawancara dan psikotest, Samantha diterima di Agensi PR konsultan itu. Sam merasa beryukur karena agensi yang ditujunya adalah salah satu perusahaan yang cukup benefit dan terkenal di kalangan praktisi. Dia ditugaskan untuk menjadi media relations.
Menulis siaran pers perusahaan klien dan menyebarkannya ke media – media konvensional baik redaksi atau wartawan perseorangan, lalu mengirimkan undangan kepada media apabila ada acara klien seperti Media Launch, Media Annouchment, Press Conference, Media Roundtable, merupakan beberapa tugasnya saat ini.
Sam begitu enjoy dan menikmati pekerjaannya kali ini. Belum ada keluhan – keluhan berarti selama menjalani profesinya. Ya, paling kalau Sam mengeluh hanya karena jam kerjanya yang memang tidak teratur, kadang dia harus sampai jam sembilan malam di kantor. Atau dia lembur seharian untuk mendapatkan konfirmasi dari media atau klien.
Memang pada awal test wawancara, Samantha diwawancara oleh Managing Director di agensi itu. Pak Arif namanya, “Kamu yakin bisa mau bekerja di agensi? Jam kerjanya tentu tidak menentu, karena memang kita harus memenuhi kewajiban kita kepada klien sesuai dengan kontrak.”
Samantha menjawab dengan tegas, “Tentu Pak. Saya akan berusaha. Saya juga tidak mau over promisses but low contribute.”

Pada salah satu event kliennya, Samantha ditugaskan untuk menjaga meja registrasi media. Memang dari kebanyakkan wartawan yang datang pada acara tersebut kebanyakkan adalah laki – laki. Sehingga banyak wartawan yang centil dan menggodanya kala itu. Namun, dengan tetap sabar dan ramah, Samantha berusaha menyembunyikan perasaan risih saat mereka menggodanya.

Setelah registrasi media selesai, Samantha lalu masuk ke dalam tempat berlangsungnya acara. Senyum dan bersikap hangat kepada klien, media, dan teman – teman kantornya merupakan kewajiban baginya. Bagaimana pun dia harus menumbuhkan image baik di depan semua orang.
Pada saat dia ke toilet dia berpapasan dengan salah satu wartawan yang daritadi sudah melihatnya dengan tatapan aneh dan menggodanya. Namun, memang seperti tuntutan pekerjaannya dia harus bersikap ramah, karena dia tidak mau merusak nama baik tempatnya bekerja hanya karena egonya sendiri.
“Hey cantik,” sapa wartawan yang diketahui namanya Rudi dengan nada genit menggoda.
Sam hanya membalas dengan senyuman dan berlalu.
PLAK! Telapak tangan Rudi mendarat pada bokong Sam.
Sam yang tidak terima langsung membalik badannya dan berhadapan dengan pria yang tersenyum nakal itu, dan BUK!!! Tonjokkan mendarat pada wajah Rudi.

***

“Kamu gila apa!” Seorang laki – laki paruh baya membentak karyawan perempuannya sambil berdiri mondar – mandir dan menunjuk muka lawan bicaranya, “Kelakuan kamu tadi bisa merugikan perusahaan tau!”
“Tapi Pak Arief, tadi Mas Rudi yang berbuat kurang ajar ke saya pak. Dia menepok bokong saya duluan. Saya gak terima Pak.” Samantha menjelaskan mengapa dia sampai melakukan hal yang diluar kontrolnya tadi.
“Apapun alasan kamu, tapi kalau sampai Rudi memperkarakannya ke polisi bukan Cuma kamu aja yang kena dampaknya! Agensi saya ini juga pasti akan dapat reputasi buruk dari media dan klien!” Pak Arief tidak mau kalah menjelaskannya, “Samantha, seharusnya kamu tidak langsung bertindak kasar langsung begitu.”
“Saya gak takut kalau Rudi melaporkan tindakkan tadi. Saya juga akan melaporkan balik dengan tuduhan pelecehan seksual Pak.” Samantha tetap ngotot, dia tidak mau begitu saja disalahkan oleh atasannya.
“Kalau nanti tidak ada media yang mau datang ke acara – acara klien dan tidak mau menerbitkan press release yang kita kirimkan gimana? Agensi PR mana yang akan sukses kalau sudah dimusuhi media?”
Samantha yang merasa kalau dirinya tidak dibela dan pecuma kalau dia terus berargumen hanya bisa mengatakan maaf, “Oke Pak, saya minta maaf. Saya memang losed control tadi. Lain kali saya akan mengontrol emosi saya Pak.”
Arief mengambil nafas panjang, “Baiklah, semoga kamu tidak akan mengulang seperti yang kamu lakukan tadi. Ingat, reputasi perusahaan kita yang akan dipertaruhkan kalau kamu macam – macam, dan saya tidak segan – segan memecat kamu.”

***

Kejadian serupa hampir setiap acara klien dan mengundang media selalu terjadi. Samantha berusaha tetap behave menanggapinya. Dia teringat akan ancaman pemecatan dan reputasi buruk yang bukan hanya dia saja dapatkan, melainkan juga untuk kantornya.

“Ohh ini yang namanya Mbak Samantha. Cantik juga ya.” Celoteh seorang karyawan Klien perusahannya saat Samantha beramah tamah dan memperkenalkan dirinya pada semua orang yang menyapanya.
Sam hanya menanggapi dengan tersenyum dan, “Terimakasih Mas.”
“Iya ya cantik. Coba aja kancing kemejanya dibuka satu lagi. Pasti bener – bener PR banget deh.” Celoteh karyawan klien lainnya dengan mata genit sambil tatapannya melihat bagian dada Sam.
Sam menyipitkan matanya. Dia menahan emosinya. Ekspresi tidak suka ditunjukkan kepada beberapa wartawan dihadapannya. Dengan langkah kaki gontai, Sam meninggalkan mereka semua sambil meremas telapak tangannya sendiri.
Salah satu rekan kerja Sam yang bernama Seto melihat kejadian itu. Bergegas dia menghampiri Sam yang menuju arah toilet.
“Sam, lo kenapa? Ada apa Sam?” tanyanya saat setelah dia menyusul dan menarik tangan Sam sampai gadis itu berhadapan dengannya.
“Heran, tuh karyawan klien gak ada sopan – sopannya amat. Masa gue dibilang coba buka kancing satu lagi pasti PR banget deh.” Jawab Sam dengan emosi yang menggebu – gebu menahan agar tidak keluar seperti kejadian sebelumnya.
“Hahahahaha, serius lo?” Seto tertawa terbahak – bahak. “Oke gue ngerti, tapi lo jangan sampe losed control lagi ya. Inget, biar gimanapun mereka klien, jadi lo jangan sampai macam – macam. Lo harus tetep ramah sama mereka, apalagi sama boss-nya.”
“Iya gue akan tetap ramah. Tapi gue ramah bukan berarti harus memperilihatkan belahan dada gue dan leyeh – leyeh kaya Nikita Mirzani ya!”

Dan tanpa disadari Samantha, sendari tadi ada sepasang mata yang memperhatikan gerak – geriknya dengan tatapan seperti macan yang siap menerkam mangsanya.

***

“Pak, itu karyawan anda yang bernama Samantha boleh juga ya.” Kata seorang laki – laki di sebrang saluran telefon.
“Hahaha, maksudnya apa Pak Munawar?”
“Masa Pak Arief gak ngerti maksud saya?!” pertanyaan balik terlontar begitu saja. “Perusahaan saya akan terus menjalin kerjasama dengan agensi Bapak. Saya tidak akan mengambil kontrak dengan agensi lainnya. Kalau perlu saya akan memberikan investasi kepada Agensi Pak Arief.”
Arief tentu saja kaget dan tidak menyangka kalau kliennya akan mengatakan bentuk kerjasama yang ditawarkan. Tergiur dan gelap mata kini dialaminya. “Oke, semua akan beres pak!”

***

Samantha terlihat bingung saat mengetahui dari rekannya kalau dia dipanggil atasannya. Dia tidak mengetahui pasti mengapa dia dipanggil. Tumben si boss manggil gue, salah apaan gue ya? Apa gue mau dikasih kerjaan lagi? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam bathinnya.

“Samantha, begini saya mau mempromosikan kamu untuk naik jabatan.” Kata Pak Arief saat Samantha duduk di depan meja kerjanya.
Tentu saja perempuan itu shock mendengar apa yang dikatakan atasannya itu. “Hah? Promosi pak? Tapi kan saya belum tiga bulan pak kerja disini.”
Pak Arief memutar bola matanya dan senyum aneh mengembang dari bibir tebalnya, “Gini, saya mau menawarkan sesuatu pada kamu. Klien kita, Pak Munawar CEO perusahaan IT mau kamu jadi konsultan pribadinya.” Perlahan – lahan dia menjelaskan semuanya pada Sam.
“Hah? Maksudnya Pak?”
“Iya dia meminta kamu untuk jadi Konsultannya. Dia suka sama kamu. Kalau kamu bisa deketin dia, Agensi kita akan mendapatkan investasi dan tentu saja Pak Munawar akan memperpanjang kontraknya dan akan mengambil kontrak – kontrak yang belum diambil. Tentu ini akan menguntungkan perusahaan dan karier kamu ke depan. Ya, rayu – rayu dikit lah Pak Munawar itu.”
Mata Samantha membelalak. Kaget dan tidak menyangka kalau boss-nya akan menjual dirinya pada klien perusahaan, “Maksud bapak, bapak mau jual saya?”
“Enggak, enggak. Bukan begitu Sam. Saya hanya mau membuka peluang kamu kedepannya untuk menjadi Konsultan PR yang handal.”
Sam memalingkan wajahnya dan melirik tajam pada atasannya, “Dari penjelasan bapak tadi, saya menagkap kalau bapak mau menjadikan saya sebagai gratifikasi untuk perusahaan ini kan? Maaf pak, saya gak bisa.”
“Samantha, sebaiknya kamu memikirkan dulu.” Pak Arief tetap tenang menghadapi lawan bicaranya yang sudah dirasa emosi. “Ini akan menguntungkan kamu juga, bukan hanya perusahaan saja. Kamu akan bisa jadi Konsultan PR yang mahal dan tentu diperhitungkan enggak kalah sama saya.”
“Pak, saya masih bisa deh kalau ngerjain apa kek. Tapi gak begini juga pak.” Samantha meninggikan nada suaranya.
“Tenang Sam. Kamu gak perlu emosi seperti itu.”
“Maaf yaa Pak, saya mau jadi Profesional PR, bukan PIAR! Saya gak mau jadi Piaraan!” Sam semakin meninggikan nada bicaranya. Dia tidak peduli lagi dengan siapa dia berhadapan.
“Lho koq jadi piaraan?” Pak Arief tentu tidak mau kalah, dia juga meninggikan suaranya, “Saya Cuma menawarkan hal yang pastinya akan menguntungkan buat kamu juga.”
Sam bangkit dari duduknya dan menunjuk Pak Arief, “Halahh, itu sama aja saya jadi gratifikasinya Bapak. Itu sama aja Bapak menjual saya! Ingat pak saya PR bukan PIAR!!!”
Pak Arief yang terkejut dengan perlakuan karyawan barunya yang memang cantik itu langsung berdiri, “Kamu kenapa jadi kurang ajar sama saya?!! Saya juga nawarin ini demi kebaikkan kamu! Yaudah, kalo kamu gak mau, saya pecat kamu!”
Senyum miring tergambar dari paras Sam, “Gak perlu bapak pecat! Saya RESIGN!” dan Buk!!! dia memukul meja Pak Arief sangat kencang.

2 komentar:

  1. Font Blognya bagus nih, pake Font apa yah ini ?

    BalasHapus