Rabu, 20 Februari 2013

Bagiku DIa Pahlawahku



Nama saya Aryo, 21 tahun, saat ini saya tengah menempuh pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Saya tinggal bersama Ibu, Ibu yang telah merawat saya dari kecil sampai saya sebesar sekarang ini.
Ibu yang selalu menyayangi saya sepenuh hati. Walaupun saya bukan anak yang terlahir dari rahimnya. Walaupun saya hanya anak yang telah ditemukannya di tempat sampah. Entah karena keterpaksaan atau rasa iba sebagai manusia biasa yang melihat seorang bayi mungil dalam tempat itu.

Ibu saat usianya masih 17 tahun menemukan saya dalam sebuah tempat sampah dekat tempat dia bekerja mencari nafkah dan memenuhi kehidupannya; salah satu daerah lokalisasi di daerah Jakarta Barat. Ya Ibu, bekerja sebagai perempuan pekerja seks komersial.
Perempuan yang dianggap murahan, sampah, dan tidak memiliki harga diri adalah kata-kata yang disematkan kepada semua perempuan yang bekerja seperti Ibu. Tapi aku tidak akan pernah mengatakan pada Ibu, karena bagiku dia adalah pahlawanku.
Tanpa dia saya tak mungkin dapat hidup setelah dibuang oleh Ibu kandungku (yang disinyalir seorang PSK juga, dan entah siapa dia), tanpa Ibu saya tak mungkin dapat tumbuh dan berkembang menikmati setiap anugerah yang Tuhan berikan. Tanpa ibu saya tidak mungkin dapat bersekolah seperti anak-anak lainnya, bahkan sampai dapat duduk dibangku kuliah.


Orang lain selalu mencibir keberadaan saya sebagai anak Ibu. Mereka selalu mengatakan pada saya bahwa saya adalah anak pungut yang dibuang oleh pelacur lain dan menjadi beban untuk hidup Ibu.
“Ibu mengambil anak bayi itu karena Ibu tak tega mendengar tangisan dan melihat bayi tanpa dosa berada di tempat sampah.” Ibu menjelaskan kepadaku mengenai siapa saya, “Ibu tidak peduli dari rahim siapa itu. Ibu juga tidak habis pikir mengapa ada orang yang tega membuang anak kandungnya sendiri.”
Ibu menjelaskan identitas siapa saya sebenarnya dari semenjak kecil, agar aku kuat dan tidak shock saat orang lain mencibir dan mengatakan hal itu pada saya. Saya tidak terlalu sakit karena tahu yang sebenarnya dari awal dan saya dapat mengerti akan hal itu.
Saya tidak mempedulikan orang tua kandung saya siapa, yang saya tahu orang tua saya adalah Ibu. Hanya Ibu yang saya cintai.


Saya saat ini bercita-cita akan menjadi orang yang sukses dan kaya raya. Saya ingin melepaskan Ibu dari pekerjaan yang selama ini dia tekuni. Pekerjaan yang selama ini dia paksakan. Pekerjaan yang hina namun dapat menyekolahkan saya sampai sekarang.
Ibu yang hanya menempuh pendidikan sampai dengan sekolah menengah pertama tidak mampu untuk bersaing dengan orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi darinya. Dia terpaksa menjadi seorang pelacur karena keadaan.
“Untung saja Tuhan memberikan Ibu wajah cantik dan tubuh yang menarik, jadi Ibu bisa nyari duit dengan cara ini.” Canda ibu pada saya saat saya menanyakan mengapa ibu menjadi seorang PSK. Matanya begitu lirih, walaupun ia tersenyum, dia tidak dapat menyembunyikan sorot mata penyesalan yang tampak nyata itu.
“Bagi Ibu kamu anugerah Tuhan. Ibu tidak dapat hamil setelah rahim ibu diangkat beberapa tahun setelah menemukan kamu.” Ibu menatap saya lirih yang duduk dibawah kakinya. “Kamu memang bukan terlahir dari rahim kotor ibu, tapi kamu lahir dari hati Ibu.”
Ibu mengusap air mata saya. Saya tidak mampu menahan air mata saat itu. Pengorbanan yang Ibu berikan untuk saya tidak akan saya mampu membalas dengan apapun.
“Dan ya,” ibu mulai tersenyum, “setelah rahim Ibu diangkat, ibu bertemu dengan Om Yasir yang menjadikan Ibu sebagai istri simpanannya. Jadi kita bisa hidup mapan dan kamu dapat sekolah.” Ibu mulai mencoba menghibur diri dengan guraunnya, walaupun saya tahu dari nadanya yang parau itu dia juga terpaksan menjalani ini semua.
Kenyataan pahit yang harus kita lalui bersama. Saya tidak pernah marah pada Ibu akan pekerjaannya itu. Saya tidak mau menyakiti dan menambah beban pikiran Ibu. Cibiran dan hinaan kerap kami terima bersama.
“Dasar Anak Pelacur!” kata-kata itu pernah saya dapatkan dari banyak orang, dari teman saya, teman ibu, ataupun orang-orang yang membenci kami.


Saya memang sempat kecewa akan semua takdir yang Tuhan berikan kepada saya. Saya tahan dan saya telan semuanya. Saya tidak ingin melihat air mata Ibu mengalir lagi karena ulah saya.
Saya tidak peduli lagi dengan apa yang orang katakan mengenai keberadaan kami dan siapa saya sebenarnya. Saya hanya mengenal Ibu, saya tidak mau tahu yang lain. Saya hanya ingin membahagiakan Ibu yang merelakan uangnya untuk menghidupi saya, Ibu yang selalu mengorbankan apa saja demi kebaikkan saya.
Saya berjanji pada Tuhan akan membahagiakan Ibu. Saya berjanji Pada Tuhan untuk dapat membuat Ibu lepas dari status sosialnya. Saya berjanji akan membalas semua jasa-jasa yang telah Ibu berikan, walaupun saya tahu kalau apa yang akan saya berikan tidak akan cukup untuk membalas setiap tetes keringat, air mata, dan pengorbanan yang telah Ibu berikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar